Sabtu, 01 Oktober 2011

Apa yang mereka katakan tentang saya?

Pernahkah terpikir di benak Anda, apa yang orang pikirkan tentang Anda?

Rasa ini kadang terlintas di benak saya. Lebih bertambah saat saya bercerita tentang sikap atau tindakan seseorang yang saya tidak suka pada teman saya. Lalu apa yang mereka pikirkan tentang saya? Saya sungguh penasaran.

Saya adalah seorang yang emosional dan suka meledak-ledak. Hal ini saya sadari tidak baik, dan untungnya saat kuliah ada teman saya yang berani menegur saya dan memberikan saran untuk lebih mengendalikan diri. Baik perkataan maupun tindakan. Mereka menyadarkan saya, bahwa menyampaikan sesuatu hal dengan tenang dan baik akan lebih mudah di mengerti dan terima orang lain.

Memasuki dunia kerja, saya sempat dirugikan dengan sikap saya yang ceplas ceplos. Saat itu saya tak pandang di forum apa saya berbicara dan dengan siapa saya berbicara. Sesuatu yang saya anggap benar akan saya pertahankan dan apa yang saya anggap salah akan saya tentang. Tapi seorang senior saya kala itu menyarankan untuk lebih peka pada lingkungan sekitar serta mempertimbangkan waktu yang tepat untuk menyampaikan opini. Saya pun belajar.

Sekarang, kadang, jujur saya suka memandang remeh orang lain. Ini salah satu hal, dari banyak PR saya yang masih harus saya perbaiki. Rasa sombong pun tak jarang menghinggapi saya, ya rasa sombong. Sungguh bodoh!

Apa ya yang mereka pikir tentang saya?

Cara saya mentransfer ilmu juga tampaknya menjadi kelemahan saya berikutnya. Saya kadang mungkin telalu keras. Mungkin, karena saya merasa masih wajar, tapi isi kepala orang lain siapa yang tahu?

Saya sungguh tak tahu, apa yang dia, kamu, atau kalian bicarakan. Tapi saya sungguh ingin tahu, supaya saya bisa memperbaiki diri. Jadi boleh di tinggalkan di komentar, dengan anonim juga gak apa kok.

Jadi, silahkan bantu saya menjawab pertanyaan yang berkecamuk dipikiran saya.

Orang hebat menjadikan orang lain hebat

"Masa kamu kalah sama perempuan. Kerja dimana aja pasti nemuin atasan yang gak enak." Farchad Poeradisastra

Inilah lecutan dari papa saya suatu hari di awal tahun 2008, saat saya merasa perlakuan bos saya kala itu tak adil. Saat itu, saya pun bangkit. Saya ingin menunjukkan nilai saya di hadapan atasan.

Tak peduli berapa banyak makian dan hukuman yg saya terima, saya hanya menjalankan dengan niat membuktikan bahwa saya mampu. Seiring waktu berjalan, kepercayaan dari sang atasan pun saya raih. Tapi memang sepertinya dia, tak pernah puas sepenuhnya dengan apa yang saya kerjakan.

Saya bukan orang yang senang melaporkan apa yang saya lakukan setiap saat. Saya lebih suka di koreksi dari apa yang saya kerjakan. Saya tidak suka di bilang tidak bisa sebelum saya coba. Makanya saya selalu ingin melakukan hal yag baru. Beliau tampaknya mulai mengerti karakter saya. Saya bukan ingin membangkang dari perintah, saya cuma ingin memberikan ide dan pemikiran saya untuk menghasilkan yang lebih baik menurut saya.

Dia pun memberikan kelonggaran. Kalau ada ide yang saya lontarkan tidak dipatahkan, tapi diarahkan agar lebih baik. Dan itu yg terjadi sampai berapa bulan kebelakang saat dia masih menjadi bos saya. Sekarang, saat sudah tidak di bawah kepemimpinannya baru saya merasakan bekal apa yang sudah di berikannya pada saya.

Di tahun pertama saya bekerja, dia memperkenalkan kepada saya dunia kerja dan jurnalistik. Dia mengajarkan saya bagaimana mengendalikan ego, karena dunia kerja memang ada hirarki dan pertanggungjawaban. Jurnalistik diperkenalkannya secara utuh, bahkan mungkin lebih dari yang teman-teman di program lain dapatkan. Sekarang saya juga baru mengerti bagaimana pentingnya manajemen konflik. Bagaimana perlakuan pada satu orang, bisa membuat yang lainnya menghindari kesalahan yang sama. Bagaimana dia mengelola orang yang karakteristiknya berbeda dengan cara yang berbeda. Itu luar biasa. Padahal dulu saya merasa itu sebuah ketidakadilan.

Di tahun kedua dia mengajarkan saya untuk membuat sesuatu yang terlihat biasa menjadi luar biasa dan bagaimana cara transfer ilmu. Dia selalu mengingkinkan saya untuk berbicara berdasarkan data dan fakta sehingga bisa menggembangkannya menjadi sesuatu menarik. Dia mulai mempercayakan saya untuk membimbing rekan yang lebih baru. Di situ saya mulai mengerti beban yang ditanggungnya saat pertama kali menerima kami yang masih baru di program dengan pengharapan besar.

Di tahun ketiga, saya sempat tidak di bawahnya, sampai akhirnya dia memasukkan saya di bawah komandonya lagi. Di tahun ini saya di ajarkan bagaimana membentuk sebuah program dan mengembangkannya. Dia menjelaskan aspek-aspek yang perlu ketahui bila sebuah program ingin berhasil dan bagaimana perlunya unsur kebaruan dalam jangka waktu tertentu agar program tetap fresh. Selain itu, dia juga mengajarkan saya merancang sebuah program. Melihat seberapa pentingnya sebuah program dibuat. Apa yang mau disampaikan lewat sebuah program, bahkan kalau bisa menjadi sokongan untuk perbaikan pengetahuan masyarakat. Juga tak lupa semua membungkus idealisme itu menjadi tontonan yang menarik.

Di tahun keempat, dia yang bergabung dengan saya di sebuah program. Kepindahannya di program ini dengan misi meningkatkan kualitas tayangan. Dia, saya, bersama kru yang lain pun akhinya menelurkan kerangka yang boleh dibilang baru, karena jauh berbeda konsepnya. Seiring waktu perbaikan performa program pun terasa. Lalu dia membuat lagi program yang di tujukan untuk mencerdaskan wanita. Biar tak cuma gosip artis terkenal saja yang mengisi keseharian mereka. Saya pun di ajak untuk membantu kala itu.

Di sini, saya lagi-lagi merasa mendapat gemblengan yang luar biasa. Dia memang selalu melakukan dengan caranya. Dia membuka mata saya bahwa saya masih kerdil. Masih terlalu kecil untuk menyombongkan apa yang saya kuasai. Saya pun belajar. Sekarang, saat tapuk kepemimpinan berpindah karena dia berhasil mewujudkan cita-citanya sejak lama untuk bersekolah lagi, saya mengerti apa yang dititipkannya. Dia memberikan saya bekal untuk menjadi jurnalis yang lebih baik dan menyadarkan saya untuk tidak pernah berhenti belajar.

Semoga di luar sana masih banyak orang hebat seperti mu yang mau membimbing orang lain menjadi hebat. Tanpa takut, tanpa ragu, tanpa pamrih membagi ilmu.

Terima kasih bos, terima kasih mba, terima kasih kawan.