Senin, 08 April 2013

Belajar Mengambil Gambar



Menyaksikan acara di televisi, yang paling menjadi perhatian adalah gambar. Walau televisi adalah media audio visual, peranan gambar mutlak menjadi faktor yang mendominasi. Jadi buat saya, walau saat itu di percaya menjadi reporter di Trans7, saya wajib bisa mengambil gambar. Reporter mengambil gambar? Mengapa tidak?

Beruntung, program pertama saya Laptop Si Unyil memberikan banyak kesempatan untuk bisa mempelajari cara mengambil gambar. Alasannya, karena saat itu kami di wajibkan untuk menunggu proses editing. Awalnya sih, rasa sebal ada. Soalnya, kita liputan dari pagi sampai sore, lalu malam hari harus jaga editing apabila sedang di kerjakan, atau sebaliknya. Malamnya jaga editing dan tetap harus berangkat liputan paginya. Lelah? Pasti.

Tapi dari proses menunggu editing itu, saya mulai  mengerti gambar apa yang dibutuhkan untuk sebuah cerita. Laptop Si Unyil menurut saya adalah salah satu program terbaik untuk belajar gambar yang saya tahu. Kenapa? Karena program yang di buat untuk anak ini harus menjelaskan dan menceritakan dengan jelas setiap cerita yang ingin disampaikan melalui gambar. Saat belajar mengambil, teman-teman kameraman saya sudah di haruskan bercerita melalui gambar. Tapi, itu bukan hal yang mudah ternyata untuk mereka dan tentunya saya.

Saya belajar mengambil gambar dari mereka yang juga masih belajar. Awalnya hanya mengambil stock shot. Ya, mengambil gambar benda mati yang kemungkinan bear tidak digunakan untuk tayangan kami saat itu. Tapi tidak ada masalah, karena saya cuma ingin bisa. Satu langkah awal saya percaya akan membawa ke langkah-langkah selanjutnya.

Di program ini, kameraman di tuntut untuk mengambil wide-medium-close up dari semua spot pengambilan gambar. Tujuannya untuk menunjukkan secara jelas kegiatan yang di jelaskan. Juga yang tak boleh lupa adalah detail-detail (extreme close up) pada kegiatan yang perlu. Menurut penjelasan dari bagian riset, anak-anak suka gambar yang close up dan detail.

Bulan demi bulan, saya pun mulai di percaya untuk mengambil bukan sekedar stock shot. Tapi juga mengambil sequence dari sebuah kegiatan. Terus menemani editing dan belajar dari teman-teman saya Aris, Windah, Angga, dan, Tebe membuat saya bisa mengasah skill mengambil gambar saya. Seiring waktu, mereka pun mulai tidak keberatan untuk bergantian mengambil gambar dengan saya. Ya, memberikan kesempatan pada saya untuk bisa belajar lebih.


Tapi ternyata aksi diam-diam saya mengambil gambar, ketahuan juga. Almarhum WDT, yang saat itu menjadi associate produser kami, menegur saya. “Lu jangan ngambil gambar dong. Keenakan campersnya. Dan gw tau ini bukan angle ngambil gambarnya gaya dia”. Tapi dia tidak marah pada saya setelah itu, tapi memberitahu kekurangan gambar saya apa, dan kita berdiskusi soal gambar.

Tahun demi tahun, saat kameraman baru mulai masuk, saya pun dapat kepercayaan lebih dari atasan untuk liputan bersama mereka sekaligus mengawasi gambarnya. It’s feels great! Seorang reporter di beri kepercayaan untuk mengawal gambar teman-teman baru di lapangan. Bahkan tak jarang saya menggantikan mengambil gambar saat liputan sudah berkejaran dengan waktu.

Bukan cuma itu, saya juga sempat menggantikan kameraman saya mengambil gambar saat sakit di luar kota. Andai saya tak bisa mengambil gambar, tentu ceritanya lain, dan saya bersyukur karenanya.
Bisa mengambil gambar ternyata juga berguna buat saya seorang reporter saat menentukan alur cerita. Saya jadi tahu apa itu gambar yang menarik untuk membuka paket dan tahu saat bercerita gambarnya memungkin atau tidak.

Seiring perjalanan saya berpindah program, saya menemukan banyak orang yang jago mengambil gambar dan saya belajar dari mereka. Belajar bisa dengan berdiskusi, bertanya, mengamati, dan mendengarkan penjelasan mereka.
Mulai dari Mas Daus, Kang Ilham, Bang Mukti, Om Cwibo, Alm. Mas WDT, Feri dan Harris di Laptop Si Unyil, lalu Harry Rossa di Selamat Pagi. Masing-masing punya keunggulan, dan saya bisa belajar berbagai macam referensi gambar. Di luar program, saya juga suka bertanya ke Ilham Jengkol tentang beberapa teknis gambar yang dia hasilkan, walau yang ini kurang sering, dan saya menyesal. Juga saat Kang Budi, Produser Jejak Petualang menjelaskan filosofi gambar pada kameraman, saya biasanya setia mendengarkan.


Juga dari beberapa teman yang cara mengambil gambarnya cukup unik dan bisa menambah pengetahuan saya, seperti Angga dengan mau usaha maksimal untuk mendapatkan gambar terbaik, Tebe dengan menyusun cerita gambar yang rapi, Rendro dengan eksplorasi gambarnya, Jay dengan gambar moving ala taichi-nya, dan masih banyak lagi.

Walau saya akui, sampai saat ini saya belum mahir mengambil gambar. Tapi saya masih punya banyak kesempatan belajar. Di kantor baru saya, Net Mediatama saya juga menemukan beberapa orang yang jago mengambil gambar. Jadi, saya siap belajar lagi.