Minggu, 04 November 2012

Menyeburkan Diri ke Jurnalistik

Apa saya pernah bercita-cita jadi wartawan? Hmm..saya rasa tidak.

BantarGebang-SelamatPagi
Semua ini berawal dari keisengan saya menawarkan diri untuk menjadi M-C pada acara masa perkenalan Fakultas di kampus saya. Apa saya pernah sebelumnya, jujur itulah pertama kali saya membawakan sebuah acara. Mungkin sebagian bingung, apa hubungan menjadi MC dan wartawan. Hehe...jawabannya akan anda temukan di tiga perempat tulisan saya.

Saya tak ingat tanggal dan bulannya, tapi saat itu sekitar tahun 2003. Saya menjadi seksi acara dari acara Masa Perkenalan Fakultas Pertanian IPB. Saya bahkan tak ingat dari mana muncul keberanian saya untuk mengajukan diri saat itu. Hal itu hanya terbesit begitu saja, dan saya ingin melakukannya.

Mahasiswa baru pun berkumpul, Jumlahnya lebih dari 1000 orang saat itu. Saya pun mulai menyapa, menjelaskan aturan main dari acara ini, dan memadukan dengan sedikit lawakan sebisa saya. Entah kenapa, respon yang saya dapat saat itu luar biasa. Mereka seperti menikmati acara yang saya bawakan. Hal inilah yang mendorong saya untuk ingin lebih sering membawakan acara. Padahal,  mungkin mereka hanya menghargai saya yang saat itu sebagai senior mereka. dan hal itu baru saya sadari sekarang. =)

Saya pun memutuskan untuk lebih serius menambah ilmu saya. Liburan semester datang, les public speaking pun saya ambil. Disini saya di asah bagaimana cara membaawakan acara dengan baik. Saya pun mulai melirik profesi presenter televisi. Saat itu Farhan menjadi salah satu favorit saya. Waktu berlalu, jam terbang saya dalam nge-MC pun bertambah. Jaringan dan pertemanan saya pun melebar di sini.

Saya akhirnya mendapat tawaran untuk bergabung ke gema almamater, salah satu UKM Jurnalistik. Di sana ketertarikan saya akan dunia jurnalistik mulai tumbuh.  Saya pun akhirnya membuat Buletin Gizi di jurusan saya menimba ilmu. Saat di gelar pelatihan jurnalistik, saya usahakan untuk ikut. Ada yang paling berkesan saat Joy Astro dari SCTV menjadi pembicara. Di situ dia menantang kami dengan menyatakan, "Mana lagi nih wartawan dari IPB, kok udah mulai jarang? Biasanya pinter-pinter loh". Saat itu saya pun mulai berpikir untuk bergabung ke dunia pertelevisian, karena saya tahu keinginan saya untuk jadi presenter bisa di tempuh dengan terjun ke sana.

Saya akhirnya lulus tahun 2006, empat tahun yang saya butuhkan untuk mendapatkan titel sarjana. Sambil menunggu Wisuda yang di gelar Februari 2007, saya magang di salah satu majalah internal sebuah Bank menjadi reporter. Di sinilah saya mulai belajar jurnalistik langsung dari seorang wartawan. Sekitar seminggu tandem, saya pun mulai dapat kepercayaan. Sekitar 3 bulan saya magang, semakin hari tingkatan kesulitan yang saya kerjakan pun meningkat. Bahkan, saya sempat dapat kolom utama.

Pembukaan penerimaan karyawan di Transcorp pun di buka secara besar-besaran. Saya tertarik untuk mencoba. Sebelumnya, saya pernah mengajulan lamaran via online ke dua televisi. Tapi panggilan tak pernah datang. Tes yang memecah rekor MURI itu pun saya ikuti. Walau begitu banyak orang yang memenuhi stadion Senayan kala itu, saya tetap percaya bahwa saya bisa lolos. Saya pun melanjutkan tes sampai akhirnya saya di terima.  Sebenarnya sempat ada tawaran untuk menjadi pegawai di tempat saya magang, tapi keinginan untuk mencoba masuk ke dunia pertelevisian tak bisa saya tahan.

Saya pun mulai mengikuti training. Di sini saya bertemu dengan orang-oranag yang dapat saya katakan hebat. Kenapa, karena mereka masing-masing berkarakter. Semua seperti ingin menunjukkan baha dirinya lah yang terbaik. Satu bulan masa training, sampai pada masa penentuan di mana kami di tempatkan Trans7 atau Trans Tv. Alhamdulillah saya di tempatkan di Trans7. Saat itu saya melihat peluang di televisi yang baru bergabung ini untuk berkembang dan berkarya lebih luas.

Tiga minggu awal kami di coba di tiga program berbeda. Saya mencoba tiga progam, mulai dari selamat pagi, kupas tuntas, lalu redaksi harian. Pengalaman yang masih membekas adalah saat seminggu di redaksi. Saya berjalan dengan reporter-reporter senior, dari mereka saya mendapat banyak masukan. Mulai dari Mba Nunung HC yang mengajarkan saya bagaimana membedakan data yang diperlukan untuk televisi dan cetak. Lalu Mas Gogor, yang saat itu memberikan kesempatan buat saya untuk mewawancarai narasumber, tapi saya tidak tahu yang namanya set up wawancara. Jadi saya tinggal setelah selesai, untung mas Gogor tanggap. Lalu Mas Taufik alias Oo yang memberikan ruang untuk saya melobi dan mewawancarai narasumber, tapi tetep yang oncam beliau.=) Semua jadi napak tilas saya memasuki dunia jurnlistik.

Lalu, kami pun di bagi ke program-program yang ada di Trans7. Saya ingat betul waktu itu Mas Coy yang membacakannya. Nama saya dan beberapa teman tidak tersebut, karena terakhir mas coy bilang "Sisanya ke Unyil". Wah, sisanya? Lalu bagaimana rencana saya untuk bisa tampil depan layar?

Jawaban pun datang, saya di tawarkan untuk ikut latihan di progam asal usul. Tapi entah kenapa saat itu saya tidak tertarik, dan lebih tertantang untuk bergabung ke progam Laptop Si Unyil. Walau saya membuanng mimpi saya untuk tampil di depan televisi, saya merasa itu aadalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat dalam hidup. Di program ini saya mendapatkan mentor yang luar biasa, yang membuat saya benar-benar merasa kosong dan ingin terus mengisi diri.

Tanpa terasa, sudah lima tahun lebih saya bergabung di Trans7. Berbagai program selain Laptop si Unyil sudah saya jalani, mulai dari arus mudik 2008, koki cilik, selamat pagi, warna, dan akhirnya redaksi kontroversi. Lima tahun lebih saya rasa cukup buat saya menimba ilmu di sini, sekarang saat mencari tantangan baru.

Cilincing -SelamatPagi
Ternyata, Doa saya pun dijawab olehNya. Ada tawaran yang menjanjikan, baik dari sisi pendapatan, karir, dan kesempatan mengembangkan diri. Saya pun merasa, ini lah saat yang tepat tuk melangkah. Saatnya saya mengangkat jangkar dan mencari pelabuhan lainnya.
 
Bukan hal yang mudah untuk meninggalkan zona nyaman dan teman-teman, tapi hidup harus terus bergerak untuk maju. Saya rasa, ini akan menjadi bab baru dalam kehidupan saya. Tak sabar rasanya untuk memulainya. Saya mohon doakan saya agar bisa tetap memberikan karya terbaik. Aamiin.




Selasa, 09 Oktober 2012

Strategi Lain Menuju Singgasana

Pernah dengar istilah penjilat?

Apa pendapat anda tentang strategi yang mereka ambil?

Ya, saya menyebutnya strategi. Karena mereka melakukan dengan maksud tertentu. Buat saya, mustahil hal ini dilakukan tanpa berharap mendapat imbalan atau keuntungan. Hal ini perlu saya tekankan di awal, karena ada beda yang nyata antara menghormati atasan dan mencari muka.

Menjadi penjilat bukan hal mudah (setidaknya buat saya), karena harus dilakukan dengan cara yang tepat. Sebab, tidak semua usaha menjilat itu berhasil lho. Kalau melihat sekeliling, memang sebagian dari rekan ada yang berhasil mendapatkan karir yang baik dari cara yang satu ini, tapi tak sedikit yang gagal.  Berbagai cara dilakukan, termasuk kadang merendahkan diri sendiri. Tapi apapun itu dengan tujuan mendapatkan "perhatian" yang lebih baik.

Buat saya, orang yang suka bersikap atas suatu masalah, sangat sulit untuk bisa melakukan hal semacam ini. Bahkan untuk menghormati atasan dalam menyampaikan opini saja saya harus menerima nasihat dari seorang senior terlebih dahulu. Ya, ceplas ceplos kadang membawa masalah, apalagi saat kita tak pernah tau dengan "siapa" kita berbicara.

Bukan sedikit orang yang mencari kesempatan meninggikan dan mendekatkan diri dengan pimpinan melalui membuka keburukan orang lain dengan tujuan menjatuhkan. Itu bukan cara yang baik menurut saya. Walau jujur, saya tak jarang mengeluhkan cara kerja rekan saya ke atasan, tujuannya agar mereka di tegur. Tapi itu saat masukan dari saya sudah tidak lagi didengar. Namun tujuan bukan untuk menjatuhkannya di depan atasan, saya cuma ingin perbaikan dan yang pasti tak mengambil keuntungan untuk persaingan prestasi.  Mungkin sebagian menilai, sama saja. Ya, sah-sah saja.

Menghormati atasan, membuat kita lebih mawas diri dalam menempatkan posisi dalam menghadapi suatu masalah. Tapi tidak berarti kita harus selalu setuju akan ide mereka, juga tidak melakukan hal yang di luar kewajiban saya. Contoh kecil, kalau makan bareng atasan wajar, tapi kalau melayaninya saat makan? Hmm..buat saya sih, berlebihan.

Kalau dilihat dari sisi atasan, wajar dia memilih orang yang "di kenal". Tapi bijak buat dia untuk mempertimbangkan kemampuan mereka yang dipilih.

Salah satu penyakit penjilat adalah jadi tak percaya diri, mau melakukan apa-apa kepikiran, nanti atasan seneng gak ya. Kalo gak punya mental seperti itu, bawa saja ide yang kita mau lakukan, diskusikan, maka kita bisa menemukan kesepakatan.

Kedua, mereka khawatir bila ada yang dekat dengan si atasan. Mungkin ketakutan kalah jago dalam menjilat. Kalo sudah begini yang di pikirkan bukan bagaimana meningkatkan kemampuan, tapi teknik menjilat kayak apalagi yang harus dilakukan. Di awal aja ilmunya kurang, eh gak belajar, awas makin ketahuan kemampuannya lho! =)

Ketiga, padahal udah dikasih posisi untuk di emban. Tapi karena mentalnya menjilat, boro-boro deh mikirin bawahannya. Mengamankan diri sendiri jadi hal utama yang di perhatikan. Kalo udah begini, hidup makin gak tenang deh. Soalnya, namanya anak buah tuh kalo kelihatan gak di perjuangkan oleh atasan gak ada sikap loyal. Mana ada yang mau maksimal kerja buat atasan yang gak bisa memperjuangkan nasib mereka. Jadi, perlu usaha lebih keras deh untuk menjilat atasannya untuk menutupi ketidakmampuan memimpin bawahannya.

Hayooo...hehe...saya yakin ketiga hal itu gak jadi maslah buat mereka yang memang sudah mencanangkan menjilat sebagai strategi. Toh nyatanya mereka lebih sukses di banding yang berusaha kerja dengan sebaik mungkin. Banyak tuh rekan saya yang kerjanya gak perlu di ragukan, tapi sayangnya kurang pintar menjilat.

Tapi, mungkin suatu saat mata dan hati akan terbuka untuk memilih mereka yang tepat, bukan yang ahli menjilat.


Kamis, 13 September 2012

Kemana angin membawa kita?

Ibarat sebuah kendaraan yang baru di luncurkan, tentu ada masa uji coba. Kebetulan saya di ajak untuk menguji coba kendaraan tersebut dan memberikan masukan kira-kira perbaikan apa yang harus dilakukan agar kendaraan ini bisa lebih laik. Perjalanan di mulai, tentu yang namanya barang baru dengan "teknologi dan sparepart" baru perlu di uji dengan seksama. Apalagi kendaraan ini di uji melalui jalan yang dikatakan jalan yang terjal dan berliku. Bahkan kendaraan yang sudah siap pakai saja kesulitan melalui jalan ini, lalu bagaimana dengan si kendaraan baru ini?

Perjalanan awalnya dilakukan dengan hati-hati, tapi sayangnya tidak bisa perlahan karena sudah harus siap berlari. Jujur kala itu, rasa penasaran akan daya tahan kendaraan ini memuat saya semangat ikut menjalankan kendaraan ini. Semua yang ada dalam kendaraan itu akhirnya menjadi tim yang solid dibawah komando yang kuat. Pergantian wakil nakhoda pun dilaksanakan untuk mempercepat peningkatan si kendaran. Hasilnya pun nyata, si wakil nakhoda baru membawa cahaya harapan yang bisa membantu kendaraan ini lebih baik. Walau terdengar keluh kesah, mereka tetap rela melakukan hampir apa saja agar si kendaraan baru ini bisa melewati jalanan yang terjal dan berliku tadi.

Perlahan, kendaraan baru ini mulai bisa dikendalikan dengan baik oleh sang nakhoda untuk melalui medan yang berat ini. Kalau istilah kendaraan, kendalinya sudah membaik. Itu pun terlihat dari hasil uji coba kendaraan terakhir. Di tengah jalan, nakhoda pun berganti. Tak cuma satu, kendaraan ini punya dua nakhoda, belum lagi satu wakil nakhoda yang sudah ada sebelumnya ditambah dua wakil nakhoda. Sayangnya, para nakhoda serta wakilnya seperti kehilangan arah.

Ternyata ide yang berbeda-beda dari nakhoda yang datang silih berganti membuat kenyamanan dan kesolidan tim berkurang. Dulu kita mengusung kerja keras, lelah, tak kenal waktu, galak, tapi Jelas dan Puas. Sekarang semua santai, tak penuh tuntutan, waktu lebih teratur tapi mengapa terasa tak menyenangkan. Kami seperti tak memiliki nakhoda dan arah kapal ini entah kemana.

Kru kapal pun mulai terbelah, sebagian mulai bekerja setengah hati, sebagian lagi bekerja dengan sakit hati, ada juga yang mungkin sudah tak memikirkan hati. Kapal memang berjalan sepertinya baik-baik saja. Ya, itu sekarang. Ke depan saya tak yakin dengan kondisi seperti ini.

Mungkin saat ini, kapal ini berpasrah pada arah angin membawanya kemana...

Selasa, 31 Juli 2012

Rokok, I'm in Pain

Kenapa saya tidak merokok? Karena lingkungan saya tidak memberikan contoh untuk itu dan saya bersyukur karenanya. Soal bahaya rokok, itu tidak akan saya tuliskan disini. Sudah banyak yang memuat tentang bahayanya, dan saya yakin setiap orang yang merokok pun sudah tahu akan konsekuensinya. Saya cuma mau cerita sedikit tentang rokok dari sudut pandang saya, seorang Dikfa.

Papa saya bukan seorang perokok, imam yang ada di rumah tidak memberikan contoh itu pada saya. Pernah sekali ayah saya mencoba untuk meroko saat rokok salah seorang tamu tertinggal. Mereknya Bentoel, ya itu lekat di ingatan saya. Saat itu juga, papa saya langsung terbatuk-batuk dan memberikan rokok itu pada seseorang yang saya lupa siapa.

Lalu masa kanak-kanak saya, dimana teman-teman saya penasaran untuk tahu bagaimana rasa rokok. Saya dengan sok yakin saat itu bilang kalau saya mau jadi atlet, jadi gak mau ngerokok. Ya, hobi saya bermain sepakbola memang saat itu membentuk saya untuk lebih menjaga diri saya dari hal-hal negatif. Walau orangtua saya gak pernah setuju saya mau jadi pemain sepakbola.

Teman-teman saya pada saat itu yang uang jajannya juga gak besar dan pastinya gak berani untuk beli rokok ke warung, karena sat itu kita masih duduk di bangku kelas 4-5 SD. Tau apa yang mereka lakukan untuk mencoba sensasi merokok? Mereka mengumpulkan puntung rokok dari jalanan, dan membakarnya. Tak peduli bekas mulut siapa, apa sudah terkena debu, atau mungkin sudah terinjak. Hal yang terlintas di benak saya saat itu, GILA ya. Cuma mau merokok, yang saat itu saya tahu gak sehat, sampe segitunya.

Keengganan saya untuk merokok pun saya coba tularkan ke teman-teman bermain sepakbola saya, terutama di rumah. Hal itu sempat berjalan mulus, sampai akhirnya kami sibuk dengan urusan sekolah masing-masing. SMP dan SMU berjalan membuat saya tidak terlalu banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman keil saya di rumah. Dan saya pun kecewa saat menemui mereka sudah merokok.

Walau saya tahu merokok adalah hak asasi mereka, tetap tergurat kekecewaan di hati saya. Soalnya saya merasa tak rela, mereka yang dapat dikatakan saya sayangi, merusak dirinya. Berbagai alasan di lontarkan, mulai faktor lingkungan, faktor kelaki-lakian, sampai faktor pikiran. Terserah, itu yang coba saya tanamkan. Tapi tetap itu tak mengobati kekecewaan saya.

Seiring jalannya tahun, semakin banyak hal-hal yang membuat saya semakin tidak akrab dengan rokok. Jujur, saya bukan mempermasalahkan gender. Tapi saya sebagai seorang pria, tidak suka melihat perempuan merokok. Bukan berarti saya tidak bisa berteman dengan mereka yang merokok, karena saya punya banyak teman perempuan yang merokok.

Hanya, buat saya rasa ketertarikan saya akan seorang perempuan cantik bisa luntur saat melihat mereka merokok. Mungkin karena saya memang sudah bersikap untuk menjauhi rokok sejak kecil. Sering saat nongkrong bareng teman-teman saya, melihat ada cewe cantik. Pertanyaan selanjutnya yang keluar dadri mulut saya, ngerokok gak? Itu otomatis yang terlintas di pikiran saya.

Saya tidak bermusuhan dengan mereka yang merokok, cuma saya tidak berteman dengan rokoknya. Jadi bayangkan apa yang saya rasakan saat menemukan seorang teman yang tak pernah terlintas di pikiran saya untuk merokok, dan sekarang dia merokok.

# Bukan maksud menggurui apalagi sok suci, cuma kadang kita lupa apa yang benar cocok untuk membantu kita menjalani hidup ini dengan baik.

Kawan, hentikanlah selagi bisa, sebelum penyesalan datang nantinya. =)


Sabtu, 04 Februari 2012

Biji Tomat


"Saya tidak mau terus di gaji, karena saya ingin menjadi orang yang menggaji. Kerja keras yang saya lakukan akan saya rasakan dampaknya langsung untuk saya. Walau tidak mudah, tapi tidak mustahil." - Dikfa Puradisastra

Pernyataan ini sempat saya lontarkan kepada teman-teman saya saat sedang ngobrol ringan dengan teman-teman saya. Lalu kata-kata ini terus terbayang di pikiran saya, dan sudah saatnya mewujudkannya. Pengalaman di program anak-anak lebih dari 3 tahun membuat saya merasa di bidang ini saya harus berbisnis. Muncullah mimpi saya untuk bukan sekedar berbisnis, tapi juga memberi manfaat bagi anak bangsa ini. Bukan bermaksud sok, saya cuma prihatin akan kurangnya perhatian kepada kebudayaan bangsa yang beragam saat ini.

Terlintas di benak saya untuk membuat kaos bertemakan kebudayaan. Hal ini pun saya komunikasikan kepada salah seorang sahabat saya Tanto. Dia yang baru saja menyelesaikan membaca buku Ippo Right, dengan lantang berbicara. Ayo kita buat. Hal ini terjadi sekitar bulan Februari 2011.

Lalu kami mengajak dua orang untuk bergabung dengan bisnis yang akan kami buat, Dhianing dan Astri. Mereka pun setuju bergabung. Di awal semua terasa sangat mulus, apalagi saat semangat kami semua masih menggebu-gebu. Tapi apa yang terjadi, jalan mulus itu ternyata sangat panjang. Sehingga perlahan konsentrasi kami menurun, dan semangat pun mulai memudar di beberapa anggota kami. Kesibukan di kerjaan masing-masing membuat komunikasi dan langkah terasa berat.

Sampai suatu waktu di bulan Oktober atau November, kami berganti anggota. Masuk sahabat saya yang lain Aji. Buat saya, masuknya Aji akan memudahkan kami yang masih baru dalam berbisnis. Dia sudah menjalani bisnis bahkan sejak sebelum bergabung di tempat kami bekerja sekarang.

Pelan-pelan, jalan mulai terbuka dan terarah. Persiapan dan konsep pun semakin matang. Walau ada beberapa kendala, semua masih dalam kendali. Tahap produksi kaos pun sudah di mulai, walau targetnya kami luncurkanproduk di bulan Januari, dan akhirnya harus meleset ke bulan Februari 2012. Setidaknya, kami sudah melangkah dan siap memasuki dunia baru.

Walau tak ada jaminan sukses, kami tak mau gagal. Bila itu harus terjadi, namanya pembelajaran. Tapi optimisme tinggi tetap kami usung untuk menopang kami menjalankan bisnis ini dengan baik.

JADI, SAMBUT KAOS BIJI TOMAT DI AKHIR FEBRUARI YA. =)

TWITTER : @bito_bijitomat